Cari

Kabuyutan Galunggung

Gunung Galunggung. Foto: Viva
[Historiana] - Kabuyutan Galunggung sangat terkenal dan tak asing bagi urang Sunda. Kita mengingatnya dari naskah "Amanat Galunggung" diinventarisasi dengan nomor 632 dan kita mengenalnya Kropak 632. Dari naskah ini diketahui peran kabuyutan, bukan hanya sebagai tempat pemujaan, melainkan dijadikan sebagai salah satu cara penopang integritas terhadap negara, sehingga tempat itu dilindungi dan disakralkan oleh raja.

Kabuyutan Galunggung atau sering disebut juga Kerajaan Galunggung adalah kerajaan di Tatar Pasundan. Seperti Mandala dan Kabuyutan lain di tatar Pasundan, keberadaan Mandala atau Kabuyutan sering dipersamakan dengan Kerajaan. Cara pandang modern sekarang ini menjadikan kita sulit mengkalisfikasikan atau mebuat pembeda antara Mandala dan Kerajaan.

Asal-Usul Nama

Ada sebuah versi mengatakan bahwa Galunggung berasal dari Kata "Galuh" dan "Agung". Maksudnya adalah Galuh yang Agung. Ini menjadi istilah yang sangat dipahami para ahli sejarah Sunda sebagai keterkaitan Mandala Galunggung dengan Kerajaan Galuh. Di beberapa wilayah di Tatar Pasundan, Mandala atau Kabuyutan atau Peguron (paguron) sebagai Kerajaan. Dimana pimpinan Mandala, kabuyutan atau Peguron biasanya berkaitan dengan silsilah kerajaan. Demikian pula dengan Peguron Keprabon Cirebon dianggap sebagai Kerajaan. Ini dianggap mirip dengan Peguron atau Kabuyutan atau Mandala Galunggung.


Amanat Galunggung

Kabuyutan Galunggung berada di wilayah Gunung Galunggung Garut dan Tasikmalaya Jawa Barat. Naskah Amanat Galunggung diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda. Sayang, naskah ini tak bertarikh dan juga tak lengkap. Yang tersedia hanya enam helai daun. Dilihat dari penulisan kata-katanya, dapat ditafsir bahwa naskah ini lebih tua dari Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1518 M) dan Carita Parahyangan (1580 M) yang ditulis pada abad ke-16. Dalam Amanat Galungggung ejaannya ditulis: kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa; yang di dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo

Teksnya berisi tentang usaha Darmasiska dan orang-orang yang “membuka” wilayah Galungggung (nya nyusuk na Galungggung). Selebihnya teks ini berisi nasihat perihal budi pekerti yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Kerajaan Sunda, yang duduk di Galunggung, kepada putranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman. Karena itu, sering pula naskah ini disebut Amanat Prabuguru Darmasiksa.

Dari naskah ini diketahui peran kabuyutan, bukan hanya sebagai tempat pemujaan, melainkan dijadikan sebagai salah satu cara penopang integritas terhadap negara, sehingga tempat itu dilindungi dan disakralkan oleh raja.

Sejarah Kabuyutan Galunggung

Diperkirakan berdirinya pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya membuka Rajyamandala Galunggung (kerajaan bawahan Galunggung). Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada zaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.

Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.

Berdasarkan Naskah Amanat Galunggung ini, kita mengetahui ajaran moral dan aturan sosial yang harus dipatuhi oleh urang Sunda. Namun, dalam naskah Amanat Galunggung ini terdapat baris-baris kalimat yang menyatakan pentingnya masa lalu sebagai “tunggak” (tonggak) atau “tunggul” untuk masa berikutnya, maka dari itu seyogyanya generasi kini harus tetap menghormati nilai-nilai yang diwarisi generasi sebelumnya. Berikut petikan dan terjemaahannya:
Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana watang
hana ma tunggulna aya tu catangna
(Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang
karena ada masa silam maka ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada catangnya)
Bagi masyarakat Sunda Kuno—juga Jawa dan etnis-etnis lain di Indonesia, terutama pada masa klasik (Hindu-Buddha)—“kesadaran sejarah” bukanlah kesadaran seseorang atau pun sekelompok orang terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu di mana peristiwa-peristiwa tersebut harus ditentukan kebenarannya (secara ilmiah), melainkan kesadaran generasi mendatang terhadap nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh generasi sebelumnya.

Hampir tak pernah ditemukan sebuah kronik sejarah—kecuali Nagarakretagama karya Prapanca—dalam bentuk pustaka di Indonesia yang memang bertujuan untuk mencatat peristiwa-persitiwa penting pada masanya beserta pencantuman tarikh-tarikhnya.

Di Jawa Barat sendrir, kecuali Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan, naskah-naskah Sunda Kuno yang dihasilkan pada abad-abad ke-15 dan ke-16 hampir semua merupakan teks religius, pedoman moral, atau sejenis “sastra-jurnal” seperti Bujangga Manik.

Memang dalam naskah-naskah pedoman moral itu dapat diketahui sejumlah aspek kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang dapat dijadikan acuan sebagai “informasi sejarah”, namun hampir tak ada catatan-catatan mengenani peristiwa politik yang akan memuaskan para peniliti sejarah, kecuali peneliti filologi dan arkeologi.

Intisari Amanat Galunggung

  • Prabu Darmasiksa menjelaskan tentang nama-nama raja leluhurnya. Ia memberikan amanat atau nasihat kepada: anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (ke-4), muning (ke-5), anggasantana (ke-6), kulasantana (ke-7), pretisantana (ke-8), wit wekas (ke-9, hilang jejak), sanak saudara, dan semuanya.
  • Dijelaskan perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan (kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing.
  • Perilaku negatif yang dilarang: Jangan merasa diri yang paling benar, jaling jujur, paling lurus, Jangan menikah dengan saudara, jangan membunuh yang tidak berdosa, jangan merampas hak orang lain, jangan menyakiti orang yang tidak bersalah, jangan saling mencurigai.
  • Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
  • Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
  • Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
  • Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing.
  • Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.
  • Jangan memarahi orang yang tidak bersalah, jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada zamannya.
  • Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri.
  • Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang “halus”.
  • Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah-bunda, tidak mengindahkan ajaran moral (patikrama) digambarkan sebagai pucuk alang-alang yang memenuhi tegal.
  • Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya.
  • Orang yang tetap hati ibaratnya telah sampai di puncak gunung.
  • Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar, maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh.
  • Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua.
  • Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran keutamaan dari leluhur.
  • Semua yang dinasihatkan ini adalah amanat dari Rakeyan Darmasiksa.
  • Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang telah membuat ajaran/pegangan hidup yang lengkap dan sempurna. Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi:
  • Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya.
  • Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan.
  • Ahli strategi akan unggul perangnya.
  • Pertanian akan subur.
  • Panjang umur.
  • Sang Rama (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup; Sang Resi (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan; Sang Prabu (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan.
  • Perilaku yang dilarang, yakni: berebut kedudukan, berebut penghasilan, berebut hadiah.
  • Perilaku yang dianjurkan: bersama-sama mengerjakan kemuliaan, melalui perbuatan, ucapan, dan itikad yang bijaksana.
  • Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu menegakkan ajaran/agama; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang dengan sesama manusia. Itulah manusia yang mulia.
  • Dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal melalui apa yang kita kerjakan. Buruk amalnya, buruk pula tapanya; amalnya sedang, sedang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya, sempurna tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil tapanya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita.
  • Perilaku yang dianjurkan: perbuatan, ucapan, dan tekad harus bijaksana.
  • Harus bersifat hakiki, bersungguh-sungguh, memikat hati, suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara.
  • Perilaku yang dilarang: jangan berkata berteriak, menyindir-nyindir, menjelekkan sesama orang dan berbicara mengada-ada.
  • Bila orang lain menyebut kerja kita jelek (bukan jelek fisik), yang harus disesali adalah diri kita sendiri.
  • Tidak benar, karena takut dicela orang, lalu kita tidak bekerja/bertapa.
  • Tidak benar pula bila kita berkeja hanya karena ingin dipuji orang.
  • Orang yang mulia itu adalah yang sempurna amalnya, dia akan kaya karena hasil tapanya itu.
  • Camkan ujaran para orangtua agar masuk surga di kahiyangan.
  • Kejujuran dan kebenaran itu ada pada diri sendiri.
  • Itulah yang disebut dengan “kita menyengaja berbuat baik”.
  • Perilaku yang dianjurkan: harus cekatan, terampil, tulus hati, rajin dan tekun, tangkas, bersemangat, perwira, teliti, penuh keutamaan, dan berani tampil. Yang dikatakan semua ini itulah yang disebut orang yang berhasil tapanya.
  • Perlu diketahui bahwa yang mengisi neraka itu adalah manusia yang suka mengeluh karena malas beramal; banyak yang diinginkannya tetapi tidak tersedia di rumahnya, akhirnya meminta-minta kepada orang lain.
  • Arwah yang masuk ke neraka itu dalam tiga gelombang, berupa manusia yang pemalas, keras kepala, pander/bodoh, pemenung, pemalu, mudah tersinggung, selalu berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya padangan omongan orang lain, tidak teguh memegang amanat, sulit hati.
  • Orang pemalas tetapi banyak yang diinginkannya selalu akan meminta dikasihani orang lain. Itu sangat tercela.
  • Orang pemalas seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Jadilah dia manusia pengiri melihat keutamaan orang lain.
  • Amal yang baik seperti ilmu padi makin lama makin merunduk karena penuh bernas.
  • Bila setiap orang berilmu padi maka kehidupan masyarakat pun akan seperti itu.
  • Janganlah meniru padi yang hampa, tengadah tapi tanpa isi.
  • Jangan pula meniru padi rebah muda, hasilnya nihil, karena tidak dapat dipetik hasilnya.
  • Orang yang berwatak rendah, pasti tidak akan hidup lama.
  • Sayangilah orang tua, oleh karena itu hati-hatilah dalam memilih istri, memilih hamba, agar hati orangtua tidak tersakiti.
  • Bertanyalah kepada orang-orang tua tentang agama hukum para leluhur, agar hirup tidak tersesat.
  • Ada dahulu (masa lampau) maka ada sekarang (masa kini), tidak akan ada masa sekarang kalau tidak ada masa yang terdahulu.
  • Ada pokok (pohon) ada pula batangnya, tidak akan ada batang kalau tidak ada pokoknya.
  • Bila ada tunggulnya maka tentu akan ada batang (catang)-nya.
  • Ada jasa tentu ada anugerahnya. Tidak ada jasa tidak akan ada anugerahnya.
  • Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia-sia.
  • Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia- sia, dan akhirnya sama saja dengan tidak beramal yang baik.
  • Orang yang terlalu banyak keinginannya, ingin kaya sekaya-kayanya, tetapi tidak berkarya yang baik, maka keinginannya itu tidak akan tercapai.
  • Ketidakpastian dan kesemerawutan keadaan dunia ini disebabkan karena salah perilaku dan salah tindak dari para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai, para orang kaya; semuanya salah bertindak, termasuk para raja di seluruh dunia.
  • Bila tidak mempunyai rumah/kekayaan yang banyak ya jangan beristri banyak.
  • Bila tidak mampu berproses menjadi orang suci, ya jangan bertapa.
  • Keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja.
  • Tirulah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang dilaluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesempurnaan dan keindahan.
  • Teguh semangat tidak mempedulikan hal-hal yang akan memengaruhi tujuan kita.
  • Perhatian harus selalu tertuju/terfokus pada alur yang dituju.
  • Senang akan keelokan/keindahan.
  • Kuat pendirian tidak mudah terpengaruh.
  • Jangan mendengarkan ucapan-ucapan yang buruk.
  • Konsentrasikan perhatian pada cita-cita yang ingin dicapai.

Referensi:


  1. Wacana.co "Amanat Galunggung (Naskah Ciburuy): Ajaran Darmasiksa kepada Rahiyang Sanjaya" Diakses 22 April 2018
  2. Atja (1968). Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Bandung,  Jajasan Kebudajaan Nusalarang.


Baca Juga

Sponsor