Cari

Kamandalaan - Mandala Sunda Sambawa

Ilustrasi Mandala. Foto: tripadvisor.com
[Historiana] - Kita barang kali mendengar istilah Kamandalaan atau nama tempat Rajamandala di Bandung. Mandala Sunda Sambawa merupakan salah satu Mandala yang mendapatkan jaminan keamanan dari Tohaan di Majaya, Setelah tidak menentunya keadaan negara dalam masa kepemimpinan Raja Prebu Ratudewa (1535-1567) dan Sang Rayusakti (1543-1551). Mandala lainnya adalah Mandala Jayagiri.

Kedua mandala di atas meminta perlindungan disaat akhir kejayaan Pajajaran menjelang keruntuhannya (burak). Situasi dan kondisi mandala-mandala tersebut sangat menyedihnya. Terjadi bencana kemansiaan akibat penyerangan dan pengrusakan dalam rangka memancing pasukan Pajajaran keluar dari Pakuan.

Mandala Sunda Sambawa adalah tempat suci sekaligus kawasan perdikan dan pemerintahan masa Sunda kuno. Kamndalaan atau Kabuyutan ini berada di wilayah Kerajaan Tarumanagara. Lokasinya diperkirakan di Muara Sungai Citarum daerah Bekasi sekarang. Setelah berubah menjadi Kerajaan Sunda, lokasi ibukota dipindahkan ke hulu Sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, lokasinya dekat Bogor saat ini.

Keberadaanya tercantum dalam Naskah Sunda Kuno "Fragmen Carita Parahyangan" yang kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dengan kode invetaris L 406 atau Kropak 406. Dalam Kropak 406,  Fragmen Carita Parahyangan, Maharaja Tarusbawa mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati di Pakuan. Tarusbawa adalah Tohaan atau raja Kerajaan Sunda (perubahan dari Mandala) yang berasal dari Kerajaan Sunda Sembawa ini memerintah hingga 723 M. Diperkirakan saat itu, pemimpin Mandala Sunda Sembawa adalah Rajaresi (Guru Resi) Tarusbawa. Tarusbawa sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka atau 18 Mei 669 M. Tarusbawa dinobatkan dengan nama Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manunggalajaya Sundasembawa. Dari sini para penulis sejarah Sunda pada umum nya mencatat dimulainya penggunaan nama kerajaan Sunda.

Istilah Sunda (Sundapura atau Sundasembawa) sebelumnya pernah digunakan oleh Purnawarman sebagai pusat pemerintahan. Sundapura adalah salah satu kota yang terletak di wilayah Tarumanagara. Dari Sundapura Purnawarman memerintah dan mengendalikan Tarumanagara, dan di Sundapura Tarumanagara mencapai masa keemasanya. Tarumanagara berakhir pasca wafatnya Linggawarman (669 M). digantikan oleh Terusbawa, menantunya, menikah dengan putri Linggawarman, Dewi Manasih. Tarusbawa dinobatkan dan dari sinilah para penulis sejarah mencatat dimulainya kerajaan Sunda.

Letak Sundapura jika dikaitkan dengan prasasti Kampung Muara dan Prasasti Kebantenan menimbulkan pertanyaan. Karena bisa ditafsirkan, perpindahan ibukota Taruma dari Sundapura telah terjadi sejak masa Suryawarman. Prasasti tersebut menurut Saleh Danasasmita dibuat pada tahun 584, masa Tarumanagara, namun menurut para akhli lainnya di buat tahun 854, menunjukan pada masa Kerajaan Sunda. Letak prasasti Muara dahulu termasuk berada diwilayah ke rajaan Pasir Muara, raja daerah bawahan Tarumanagara. Pasir Muara kemudian berada dibawah daulat kerajaan Sunda. Namun suatu hal yang paling mungkin prasasti tersebut peninggalan masa Tarumanagara.

Didalam Pustaka Jawadwipa diterangkan mengenai lokasi Sundapura:
telas karuhun wus hana ngaran deca Sunda tathapi ri sawaka ning tajyua Taruma. Tekwan ring usana kang ken ngaran kitha Sundapura. Iti ngaran purwa prasta wa saking Bratanagari. (dahulu telah ada nama daerah Sunda tetapi menjadi bawahan Tarumanaga. Pada masa lalu diberi nama Sundapura. Nama ini berasal dari nege ri Bharata).

Istilah Sunda didalam alur cerita kesejarahan resmi sejak Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan ke Sundapura, pada tahun 669 M atau tahun 591 Caka Sunda. Pada masa  itu kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta Linggawarman pada tahun 669 M kepada Tarusbawa. Berita ini disampaikan kesegenap negara sahabat dan bawahan Tarumanagara. Demikian juga terhadap negara, seperti Cina, Terusbawa mengirimkan utusan bahwa ia pengganti Linggawarman. Sehingga pada tahun 669 M dianggap sebagai lahir nya Kerajaan Sunda.

Perpindahan dan pembangunan istana Sunda dikisahkan oleh penulis Fragmen Carita Parahyangan, sebagai berikut:
Diinyana urut Kadatwan, ku Bujangga Sedamanah nga ran Kadat wan Bima–Punta– Narayana–Madura–Sura dipati. Anggeus ta tuluy diprebokta ku Maharaja Tarus bawa denung Bujangga Sedamanah. (Disanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kedatuan Bima-Punta – Narayana – Madura – Suradipa ti. Setelah selesai dibangun lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah.).

Nama Tarusbawa sendiri terdapat dalam Naskah Wangsakerta II: Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara, Pustaka Carita Parahyangan I Bhumi Jawa Kulwan, dan Sarwakrama Rajyarajya Galuh-Pajajaran.

Berita yang layak dijadikan bahan kajian tentang pembangun an istana yang dilakukan Tarusbawa juga tercantum di dalam Pustaka Nusantara II/3 halaman 204/205, isinya :
"Hana pwanung mangadegakna Pakwan Pajajaran la wan Kadtwan Sang Bima-Punta-Narayanan-Madura-Suradipati ya ta Sang Prabu Tarusbawa". (Adapun yang mendirikan Pakuan Pajajaran beserta keraton Sang Bima–Punta–Narayana–Madura-Suradipati adalah Maha raja Tarusbawa)
Istana sebagai pusat pemerintahan terus digunakan oleh raja-raja Sunda Pajajaran atau Pakuan Pajajaran. Istilah Pakuan Pajajaran menurut Purbatjaraka (1921) berarti istana yang berjajar Nama istana tersebut cukup panjang, tetapi berdiri masing-masing, dengan nama nya sendiri, secara berurutan disebut Bima–Punta–Narayana-Madura-Suradipati (bangunan keraton). Ba ngunan Keraton tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Gubernur Jendral Camphuijs, tanggal 23 Desember 1687 kepada atasan nya di Amsterdam. Laporan diatas mendasarkan pada penemuan Sersan Scipio, pada tang gal 1 September 1697, tentang penemuan pusat Keraja an Pajajaran pasca dihancurkan pasukan gabungan Ban ten dan Cirebon.

Aktivitas di Mandala Sunda Sambawa

Ajaran Jati Sunda tentang "Tri Tangtu" diajarkan di Kamandalan Sunda Sembawa ini. Tri Tangtu (Rama, Resi, Ratu) merupakan tiga kekuataan Purbatisti Purbajati i Bhumi Pertiwi yang menghasilkan Uga (perilaku) Ungkara (nasehat) Tangara (tanda alam), sebagai sistem pola perilaku dalam berbangsa dan bernegara yang telah dipergunakan oleh para Pangagung mwah Pangluhung i Sunda Sembawa Sunda Mandala.

Konsepsi Panyca Pasagi (Sir Budi Cipta Rasa Adeg) adalah lima kekuatan dalam diri manusia (Raga Sukma Lelembutan) yang merupakan dasar kekuatan untuk menimbulkan serta menentukan Tekad Ucap Lampah Paripolah Diri manusia yang akan dan harus berinteraksi dengan Sang Pencipta, Bangsa dan Negara, Ibu Bapak Leluhur, Sesama makluk hidup, dan alam kehidupan jagar raya (Buana Pancer Sabuder Awun).

Mandala menjadi Kerajaan

Mandala Sunda Sambawa berubah menjadi kerajaan Sunda Sambawa. Kerajaan ini bawahan Tarumanegara, dengan ibukotanya Sunda Purwa, didirikan oleh Maharaja Purnawarman, penguasa Tarumanegara ketiga dan sebagai penguasa pertama diangkat putra sulungnya yang berstatus putra mahkota Tarumanegara.

Terdapat beberapa Mandala di tatar Pasundan yang bermetamorfosis menjadi kerajaan. Namun demikian, tidak semua kerajaan dimulai dari Mandala. Begitu pula tidak semua Mandala tercatat dalam sejarah menjadi kerajaan.

Pada awalnya Sunda Sambawa menguasai beberapa daerah atau wilayah meliputi yang sekarang menjadi DKI Jakarta, kota Bogor dan kabupaten Bogor, sebagian Sukabumi dan sebagian kabupaten Cianjur. Namun dalam masalah kebijakan pemerintah maupun pelaksanaannya masih sepenuhnya ditangan penguasa Tarumanegara.

Tugas seorang Raja Sunda Sambawa hanyalah sebagai pengawas jalannya pemerintahan, yang dilaksanakan oleh para pejabat yang diangkat oleh penguasa Kerajaan Tarumanegara. Secara langsung, status penguasa Sunda Sambawa ini sebagai wakil penguasa Tarumanegara yang berlangsung di masa pemerintahan Wisnuwarman sebagai raja Kerajaan Tarumanegara ke-4 dan Indrawarman raja Kerajaan Tarumanegara ke-5.

Dalam masa pemerintahan Candrawarman, Maharaja ini memberikan kewenangan kepada penguasa Sunda Sambawa untuk mengatur pemerintah sendiri (otonom). Walaupun daerah-daerah tertentu masih tetap dibawah kendali penguasa Tarumanegara. Pada masa pemerintahan Suryawarman, kebijakan dan pelaksanaan pemerintah diserahkan sepenuhnya ketangan penguasa Sunda Sambawa (otonomi penuh), dan kemudian diserahkan kembali beberapa daerah diwilayah Sunda Sambawa ke tangan penguasanya wilayah Sunda Sambawa sendiri telah meluas dari mulai tepi pantai Banten sampai tepi barat Citarum.

Pada masa pemerintahan Suryawarman ini, Sunda Sambawa telah mempuyai balatentara dalam jumlah yang besar, kuat dan para rajanya masih keturunan langsung Sri Maharaja Purnawarman sang Iswara Digwijaya Bhimaparakarman, putra kedua sang Maharaja Iswara Digwijaya Bhimaparakarma Suryamahapurusa Jagatpati, karena leluhurnya adalah cucu Sang Purnawarman, putra kedua sang Maharaja Wisnuwarman Iswara Digwijaya Tunggal Jagatpati dari permaisuri Suklawatidewi putri raja Kerajaan Indraprahasta, Cirebon Girang.

Mengenai kerajaan Indraprahasta, kerajaan daerah ini merupakan bawahan Salakanagara yang didirikan oleh Maharesi Santanu dari India pada tahun 363 M, dan Suntanu sang penguasa Indraprahasta itu, mempunyai permaisuri yang bernama Indari yakni Putri Dewawarman VIII, dan Indari adalah adik Aswawarman raja Kutai Bakulapura di Kalimantan. Santanu yang bergelar Praburesi Indraswara Sakalakretabuahana. Ia mempunyai putra sulung yang bernama Jayasatyanagara raja kedua Indraprahata yang menikah dengan Ratna Manik, putri Wisnubumi penguasa Kerajaan Malabar bawahan Tarumanegara. Pernikahan Jayasatyanagara dengan Ratna Manik mempunyai putra bernama Wirabanyu dengan Nilem Sari, putri kerajaan Manukrawa menghasilkan beberapa orang putra dan putri, diantaranya Suklawatidewi istri Wisnuwarman penguasa Tarumanegara keempat. Dengan demikian, para raja sunda Sambawa mempunyai kaitan keluarga dengan raja-raja Indraprahasta, Kutai Bakulapura, Malabar dan Manukrawa, selain keturunan langsung dari sang Purnawarman raja Tarumanegara.

Sunda Sambawa menjadi Kerajaan Sunda

Kembali ke sumber naskah Fragmen Carita Parahyang, tidak ada keterangan yang mengungkapkan, apakah Kerajaan Sunda Sambawa ini sama dengan Kerajaan Sunda yang pada abad ke-6. Namun disebutkan dalam Prasasti Pasir Muara di Bogor. Bila diteliti bahwa tempat prasasti tersebut ada di sekitar Bogor, bisa jadi Kerajaan Sunda yang dikuasai Tarusbawa merupakan kerajaan yang dulu diberi wilayah kekuasaannya kembali oleh Suryawarman melalui Rakeyan Juru Pangambat. Dan jarak dari masa Suryawarman ke masa Tarusbawa hanyalah seabad.

Mengenai peralihan dari Tarumanagara ke Sunda, ada kronik Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri Cina adalah pada tahun 669 M. Saat itu menyebut nama "Tolomo" atau Taruma.

Di negeri Cina sendiri ketika itu yang berkuasa adalah Dinasti Tang. Setelah tahun 669 tersebut, tak ada lagi berita tertulis dari Cina yang menyinggung tentang keberadaan Kerajaan “Tolomo” ini. Besar kemungkinan, pada masa tersebut memang kerajaan ini telah “berganti nama” menjadi Kerajaan Sunda.

Terjadi pemberontakan di Tarumanagara. Setelah selesainya pemberontakan yang berkepanjangan di Tarumanegara, dan Linggawarman penguasa Tarumanegara ke-12 tidak sanggup lagi meneruskan pemerintahannya, dikarenakan tidak adanya dukungan dari para raja mandala bawahan tarumanegara, yang akhirya menyerahkan kekuasaannya kepada Tarusbawa (menantunya), Penguasa sunda sambawa, suami Manasih Putri Linggawarman. Penyerahan ini berdasarkan pertimbangan bahwa Tarusbawa merupakan keturunan ke-7 dari sang Purnawarman, dari putra laki-laki, dan mempunyai kaitan keluarga dengan beberapa kerajaan daerah yang dianggap penting di Tarumanegara. Dengan diangkatnya Tarusbawa, diharapkanpara raja daerah kembali mendukung Tarumanegara dengan duduknya keturunan langsung Purnawarman ditampuk kekuasaan Tarumanegara.

Tarusbawa diangkat pada tanggal 9 bagian terang bulan yesta tahun 591 saka (669 M), belum genap satu taun pemerintahannya, kemudian mengubah nama Kerajaan Tarumanegara menjadi "Kerajaan Sunda". Alasan Tarusbawa mengganti nama Tarumanegara adalah untuk mendapat dukungan penuh dari "Rajamandala" bawahan Sunda Sambawa dan para raja yang masih ada kaitan keluarga lainnya yang berada di bagian timur Tarumanegara.

Dilain pihak, penguasa wilayah Galuh, Wretikandayun, yang sangat setia kepada Tarumanegara dan mempunyai peranan besar dalam menumpas pemberontakan terhadap tarumanegara, merasa kecewa terhadap Tarusbawa yang mengubah "Tarumanagara" menjadi "Sunda". Wretikandayun dengan dukungan hampir seluruh rajamandala di wilayah timur Tarumanagara menyatakan memisahkan wilayahnya dari kerajaan Sunda. Kemudian Galuh menjadi kerajaan mandiri (mahardika) sederajat dengan Sunda di barat.

Wretikandayun merasa kecewa sangat beralasan. Disamping ia sebagai seorang raja yang sangat setia terhadap Tarumanegara, penguasa Galuh itu juga masih keturunan Purnawarman, karena Tirtakancana kakek Wretikandayun adalah putra Maharaja Suryawarman adik Kretawarman dan Sudhawarman.

Dengan demikian, baik Tarusbawa maupun Wretikandayun merupakan keturunan ketujuh Purnawarman. Menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan kekeliruan dan mengakibatkan perpecahan, Tarusbawa akhirnya merelakan separuh wilayah kekuasaannya menjadi negara mandiri mulai dari tepi timur Citarum sampai tepi barat Cipamali dan di selatannya Purwalingga yang merupakan perbatasan dengan kerajaan Kalingga (di jawa tengah sekarang).

Referensi

  1. Ghifarie, Ibn. 2015. "Risalah Agama Cinta. Jakarta: Elex Media Komputindo. 
  2. Wacana. "Tarusbawa, Raja Sunda di Pakuan". www.wacana.co Diakses tanggal 6 April 2018.
  3. ayasan Pembangunan Jawa Barat, Tim Penggarapan Naskah Pangeran Wangsakerta, 1989. "Naskah Wangsakerta II (Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa)". transliterasi, terjemahan, disertai pendahuluan dan ringkasan isi, Volume 1, Part 3. Cirebon.
Baca Juga

Sponsor