Cari

Sundayana

[Historiana] - Sundayana berasal dari kata "Sunda" dan "Yana". Sunda dalam tradisi dipercaya merupakan kependekan dari kata Su dan Ananda yang berarti ; “Su” mengandung arti : Kebenaran, “A” mengandung arti : tidak, “Nanda” mengandung arti : bergeming Sehingga kata Sunda dapat berarti : Kebenaran yang tidak bergeming/Kebenaran yang Kokoh. Yana = Ajaran, Sundayana : Ajaran mengenai kebenaran yang kokoh.


Asal-usul Istilah 

“Sunda” sama sekali bukan nama suku (etnis) yang tinggal di pulau Jawa, melainkan nama atau sebutan bagi wilayah besar yang meliputi 1/4 dunia, atau sebutan lain dari sebutan Indonesia sekarang. Batas wilayah Sunda diduga merupakan batas wilayah ajaran dari Sundayana.

Istilah Sunda Istilah Sunda saat ini menunjuk kepada pengertian ajaran, budaya, etnis, geografis, administrasi pemerintahan dan sosial. Setidaknya, ada beberapa ahli yang berpendapat mengenai istilah sekitar Sunda, di antaranya sebagai berikut:

Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian Barat Laut wilayah India Timur; sedangkan dataran bagian Tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain Systems) yang panjangnya sekitar 7.000 km.

Dataran Sunda (circum-Sunda Systems) itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara yang meliputi kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang lautan Pasifik bagian Barat serta bagian Selatan yang terbentang dari Timur ke Barat mulai Maluku bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India).

Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai pulau Banda di Timur terus kearah Barat melalui pulau-pulau di Kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda Islands), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai ke Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan Dataran Sahul di Timur (Bemmelen, 1949; Hal 2-3).

Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda kecil. Pengertian Sunda Besar adalah Himpunan pulau-pulau yang berukuran besar, yaitu terdiri atas Sumatera, Jawa dan Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk ke dalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor (Bemmelen, 1949;15-16).

Prasasti Jayabhupati (Cibadak, Sukabumi). Istilah Sunda yang menunjukan pengertian di wilayah bagian Barat pulau Jawa dengan segala aktivitas kehidupan manusia didalamnya, muncul pertamakalinya pada abad ke-11 masehi. Istilah tersebut tercatat dalam prasasti yang ditemukan di daerah Cibadak, Sukabumi. Dimana disebutkan ada seorang raja bernama Sri Jayabhupati yang berangka 952 saka (sama dengan 1030 Masehi). Dalam prasasti itu, ia menyebut dirinya sebagai raja Sunda (Pleyte, 1916; 201-218). Namun tidak dijelaskan lebih jauh dalam prasasti itu, kapan kerajaan Sunda itu berdiri. Petunjuk tentang waktu berdirinya kerajaan Sunda terdapat dalam sumber Sekunder, yaitu dalam naskah berbahasa Sunda Kuno.[3] Menurut sumber ini, kerajaan Sunda didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (Pleyte, 1914; 257-280).

Menurut naskah Nagarakretabhumi, Maharaja Tarusbawa memerintah pada tahun 591-645 Saka yang sama dengan tahun 669/670-723/724 Masehi. Ia merupakan penerus raja-raja Tarumanagara. Dalam bukunya, Ptolomaeus menyebutkan tiga buah pulau disebelah timur India dengan nama Sunda. Rouffaer (1905:16). Menyatakan bahwa kata Sunda merupakan “pinjaman” kata dari kebudayaan Hindu. Rouffaer banyak mengkritik mengenai penafsiran terhadap naskah-naskah sejarah Jawa.

Williams. Menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari kata “Sund” atau “Suddha” dalam kata Sansakerta yang mengandung makna : bersinar, terang, putih (Williams, 1872). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata “Sunda” dengan pengertian : bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, waspada, pangkat.

Selanjutnya, Sunda dijadikan nama kerajaan di bagian barat Pulau Jawa yang beribukota di Pakuan Pajajaran, sekitar kota Bogor sekarang. Kerajaan Sunda itu telah diketahui berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berakhir pada tahun 1579 Masehi.

Istilah Sunda sebagai nama tempat atau kerajaan tercatat pula dalam prasasti lain dan dalam empat buah naskah berbahasa Sunda Kuno yang dibuat pada akhir abad ke-15 atau abad ke-16 Masehi. Prasasti itu adalah prasasti Kebantenan yang ditemukan di Bekasi. Di dalam prasasti itu dikemukakan adanya tempat (Dayeuhan) yang bernama Sundasembawa, disamping tempat lain yang bernama Jayagiri. Kedua tempat itu berada di wilayah kerajaan Sunda (Sutaarga 1984:33).

Mungkin yang dimaksud adalah nama daerah Mandala, yaitu daerah suci tempat kegiatan keagamaan[10][11]. Adapun 4 naskah yang menyebutkan tentang Mandala-mandala adalah: Carita Parahyangan (Atja, 1967), Sanghyang Siksakanda Ng Karesian (Atja & Saleh Danasasmita, 1977), Sewaka Dharma (Banasasmita et.al., 1987), dan Bujangga Manik (Noorduyn, 1982 : 413-442).

Dalam naskah-naskah tersebut nama wilayah Sunda disebut bersama atau dalam hubungan dengan wilayah lain seperti Jawa, Lampung, Baluk, Cempa. Bahkan dalam naskah yang terakhir dijelaskan tentang wilayah Sunda dengan wilayah Jawa, yaitu sungai Cipamali (kali Pemali, sekarang), dekat Brebes. Dikatakan bahwa“sadatang ka tungtung Sunda, meu(n)tasing di Cipamali, datang ka alas Jawa”. Yang artinya ; setibanya diujung (wilayah) Sunda, (kemudian) menyeberang di (Sungai) Cipamali, masuk ke wilayah Jawa.

Batas wilayah itu (Sungai Cipamali) diabadikan dalam tradisi lisan Sunda berupa cerita pantun lakon Ciung Wanara yang kisahnya diakhiri dengan sumpah dan perjanjian antara 2 tokoh utama kakak-beradik, yaitu Ciung Wanara dan Haria Banga, bahwa mereka akan mengakhiri pertengkaran dan sepakat membagi wilayah kekuasaan di pulau Jawa atas dua bagian, yakni Sunda dan Jawa, dengan batas sungai Cipamali.


Sundayana Nusantara 


Menurut cerita yang beredar di kalangan para sesepuh Sunda, runtutan Pa-Ra Buyut dan Rumuhun (Karuhun/Leluhur/Nenek Moyang) perjalanan bangsa Sunda di awali dari daerah Su-Mata-Ra (Sumatera). Mereka membangun kebudayaan selama beribu-ribu tahun di kawasan Mandala Hyang (Mandailing) daerah Ba-Ta-Ka-Ra sampai ke daerah Pa-Da-Hyang (Padang).

Pada masa tersebut para Karuhun tersebut telah memeluk ajaran yang disebut dengan nama “Su-Ra-Yana” atau ajaran Surya. Hingga satu masa Gunung Batara Guru meletus hingga habis, dan meninggalkan sisa Kaldera yang sekarang menjadi danau (Toba) yang sangat luas (100 Km2). Diberitakan dunia tertutup awan debu selama 3 bulan akibat meletusnya gunung tersebut.

Masa berganti cerita berubah, Mandala Hyang beralih ke Gunung Sunda, yang sekarang terkenal dengan nama Gunung Krakatau (Ka-Ra-Ka-Twa). Pada saat itu belum dikenal konsep Negara, tapi lebih kepada konsep Wangsa (bangsa). Wilayah Mandala Hyang pada masa itu dikenal dengan sebutan “Buana Nyungcung” karena terletak pada kawasan yang tinggi.

Sementara Maya Pa-Da (Jagat Raya) dikenal dengan sebutan Buana Agung/Ageung/Gede dan Buana Alit (Jagat Alit), kata buana di jaman yang berbeda mengalami metaformosis kata menjadi “Banua” atau “Benua”.

Puncak Pertala di Buana Nyungcung Gunung Sunda dijadikan Mandala Hyang, begitu juga dengan gelar Ba-Ta-Ra Guru yang menggantikan petilasan/tempat yang sudah hilang-menghilang. Pada masa ini kehidupan wangsa menunjukan kemajuan yang luar biasa, perkembangan budaya serta aplikasinya mencapai tahap yang luar biasa, dengan berbagai penemuan teknologi di darat dan laut. Daerah ini terkenal dengan sebutan “Buana A-ta” (Buana yang kokoh dan tidak bergeming). Oleh bangsa luar dikenal dengan sebutan “Atalan”(mungkin maksudnya Ata-Land).

Kembali kemajuan disegala bidang tersebut terhenti kembali ketika Gunung Sunda meletus (Gunung Ka-Ra-Ka-Twa), darata terbagi menjadi dua (Sumatra dan Jawa). Semua bukti kemajuan jaman wangsa tersebut hilang, tenggelam tidak bersisa, yang tersisa hanyalah sebuah bentuk ajaran Surayana.

Sama seperti kejadian di Batara Guru (Gunung Toba) yang wilayahnya meliputi Pa-Da-Hyang, begtu uga dengan Batara Guru (Sunda) yang wilayahnya meliputi Pa-Ra-Hyang. Ajaran tersebut kemudian dilanjutkan oleh Prabu Sindhu (Sang Hyang Tamblegmeneng, putra Sang Hyang Watugunung Ratu Agung Manikmaya) yang kemudian jaran tersebut lebih terkenal dengan nama Sundayana (Sindu Sandi Sunda).

Ajaran tersebut kemudian menyebar ke seluruh dunia. Perjalanan Prabu Sindu di wilayah Jepang membuat ajarannya diberi nama Shinto di daerah tersebut, memuja kepada Sang Hyang Manon (Na-Ra) bahkan lambing dari ajaran tersebut kemudian dijadikan Bende-Ra bangsa tersebut.

Perjalanan penyebaran ajaran tersebut kemudian bergerak sampai ke daerah India, sampai kepada sebuah aliran sungai besar yang membelah sebuah lembah yang nantinya dikenal dengan Lembah Sungai Sindu (Barat mengenalnya dengan nama Lembah sungai Hindus), tepatnya di daerah Jambudwipa. Perkembangan ajaran tersebut sangat luar biasa sehingga menghasilkan sebuah peradaban tinggi “Mohenjodaro dan Harapa” yang memiliki kemiripan nama dengan “Maharaja-Sunda-Ra dan Pa-Ra-Ha/Hu persis dengan sebuah tempat di wilayah Parahyangan sekarang.

Ajaran Prabu Sindu yang selanjutnya disebut agama Hindu asalnya merupakan ajaran Surayana-Sundayana, yang masih tersisa hingga kini di wilayah Nusantara ada di daerah Bali sekarang, serta Ajaran Sunda Wiwitan yang isinya sama menjadikan Matahari serta Alam sebagai panutan hidup. Perjalanan sejarah kemudian menjadikan ajaran-ajaran tersebut masuk ke dalam klasifikasi Animisme dan Dinamisme.

Ajaran Sundayana ini masih belum memiliki keterangan yang otentik dan belum dilakukan penelitian ahli antropologi, filologi, teologi ataupun arkeologi.Sementara hanya berdar bahasan serupa ini di berbagai blog. Sebagian lagi memasukannya sebagai mitologi atau cerita rakyat.

Referensi 

  1. Masa Para Raja di Tanah Parahyangan, Antara Sejarah dan Legenda - WACANA". www.wacana.co (dalam bahasa American English). Diakses tanggal 2018-03-30. ^ 
  2. Bemmelen, Willem van. "The Geology of Indonesia" 1949. ^ Dijk, Cornelis (2007). The Netherlands Indies and the Great War 1914-1918 (dalam bahasa Inggris). KITLV Press. ISBN 9789067183086. 
  3. Boechari (2013-07-08). Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 9782855394732. 
  4. Ayatrohaedi. "Kepribadian budaya bangsa (local genius)" Tahun: 1986. Jakatar: Dunia Pustaka jaya 
  5. Molen, Willem van der (2011). Kritik Teks Jawa: Sebuah pemandangan Umum dan Pendekatan Baru yang Diterapkan Kepada Kunjarakarna. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN 9789794617878. 
  6. Setiyaji, Achmad (2010). Mereka menuduh saya. Penerbit Galangpress. ISBN 9786028174374. 
  7. Ross, Ryan (2016-03-17). Ralph Vaughan Williams: A Research and Information Guide (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 9781317646150. 
  8. Lombard, Denys (1996). Nusa Jawa: Jaringan Asia. Gramedia Pustaka Utama. ISBN 9789796054534. 
  9. Danasasmita & Anis Djatisunda, "Studi tentang Penggunaan Ruang dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kanekes Kec Leuwidamar Kabupaten lebak banten: Makalah Universitas Indonesia" tahun 1986 Hal. 2-7 
  10. Sucipto, Toto; Limbeng, Julianus (2007-01-01). Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  11. Noorduyn, J. "Bujangga Maniks journeys through Java; topographical data from an old Sundanese" In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138 (1982), no: 4, Leiden, Hal. 413-442 
  12. “Peradaban Sunda adalah Akar dari Seluruh Peradaban Dunia”. Bayt al-Hikmah Institute. 2015-01-19. Diakses tanggal 2018-03-30. 
  13. Rahman, Nurhayati (1999). Antologi sastra daerah Nusantara: cerita rakyat suara rakyat. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 9789794613337. 
  14. Danasasmita & Anis Djatisunda, "Studi tentang Penggunaan Ruang dalam Kehidupan Komunitas Baduy Desa Kanekes Kec Leuwidamar Kabupaten lebak banten: Makalah Universitas Indonesia" tahun 1986 Sunda Wiwitan 
  15. Noorduyn, J. "Bujangga Maniks journeys through Java; topographical data from an old Sundanese source" In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138 (1982), no: 4, Leiden, Hal. 413-442
Baca Juga

Sponsor